Jangan Gagal Fokus. Kupat Jembut, Tradisi Perayaan Syawalan Khas Semarang

banner 468x60

Portalika.com [SEMARANG] – Sejumlah daerah di Provinsi Jawa Tengah menyiapkan perayaan syawalan usai perayaan Idul Fitri. Perayaan syawalan ini dikenal juga dengan nama lebaran ketupat atau dalam Bahasa Jawa bakdo kupat.

Salah seorang warga Wilda Pujianta menyebutkan yang unik, di Semarang terdapat sebuah tradisi syawalan yang disebut tradisi kupat jembut. Lebaran di Kota Semarang rasanya tak lengkap dengan hidangan lebaran yang satu ini. Meski namanya bikin salah fokus, namun menu kuliner yang satu ini sangat mahsyur di Semarang. Apa itu? Ya, namanya Kupat Jembut.

banner 300x250

Menurut pegawai Pemprov Jateng, kupat ini dibuat dari bungkus daun kelapa muda atau janur. Ketupat kan bentuknya segi empat lalu dibelah diagonal tapi enggak putus. Lalu di dalamnya disisipkan touge. Awalnya, isian ketupat hanyalah toge karena saat awal tradisi ini dimulai warga hanya punya toge untuk jadi isian ketupat. Dalam perkembangannya ditambah kubis atau kol dan kacang-kacangan.

Baca juga: Siswa Kelas IX MPN 2 Giritontro Digembleng Mental Dan Spiritual

Karena di dalamnya sudah ada sayur dan bumbu, kupat ini sudah terasa lezat meski tak ditambahkan opor ayam atau sayur bersantan lainnya.

Kupat ini biasanya dibagikan saat perayaan syawalan di Tanjungsari, Pedurungan, Semarang. Tanpa bermaksud negatif, kupat ini hanyalah salah satu jenis ketupat yang berisi sayuran kecambah atau taoge dan sambal kelapa di dalamnya.

Portalika.com/dok Wilda

Adapun filosofi taoge dan sambal kelapa dimaksudkan untuk melambangkan sebuah kesederhanaan dalam hidup dengan tidak melulu kemewah-mewahan. Sedangkan dibelah tengah dan dimasukkan isi dimaksudkan bahwa antar warga sudah saling melepas kesalahan.

Meski namanya membuat salah fokus, tradisi kuliner ini ternyata sudah mengakar di Kampung Tanjungsari, Pedurungan Tengah, Semarang sejak puluhan tahun lalu atau sekitar tahun 1950 silam.

Keberadaan kupat ini merupakan wujud rasa syukur kepada Allah SWT atas berkah yang diberikan selama bulan Ramadan.

Portalika.com/Ist

Kupat merupakan sebuah simbol kesederhanaan. Sebab, kupat tersebut digunakan untuk merayakan syawalan, tanpa opor sebagaimana tradisi di Jawa yang identik dengan lontong opor. Mengingat pembuatan kupat ini jelas lebih murah dibanding untuk membuat lontong opor.

Uniknya, tradisi kupat ini hanya ada sekali dalam setahun di Kota Semarang. Lebih tepatnya pada hari H + 7 Lebaran atau Idul Fitri.

Dalam perkembangannya, untuk THR anak-anak, beberapa orang juga kerap menyelipkan uang ke dalam ketupat ini. Ketupat ini pun dibagikan ke anak-anak dan mereka akan berebut untuk mendapatkannya.

Tradisi menyisipkan uang dalam kupat ini dimulai sejak tahun 2000. Bukan cuma untuk memeriahkan perayaan, tapi pemberian uang ini juga dimaknai sebagai sedekah dan ungkapan syukur atas rahmat Allah SWT sekaligus untuk pelengkap ibadah puasa.

Ketupat tersebut dibagikan untuk orang dewasa dan anak-anak. Uniknya ada juga warga yang mengisi ketupat dengan uang receh. Anak-anak yang berebut pun gembira dan saling bersaing mendapatkan ketupat serta uang terbanyak.

Memang banyak versi penyebutan nama kupat tersebut. Namun, karena kampung Tanjungsari Pedurungan Tengah ini lebih lebih religius, lebih nyaman menyebut Kupat Tauge daripada Kupat Jembut.

Tradisi unik ini tak hanya di Kampung Tanjungsari. Di sejumlah titik di Kelurahan Pedurungan Tengah juga menggelar hal serupa termasuk di daerah Tanjungsari atau daerah yang berada di sisi timur Kota Semarang. (Triantotus)

Komentar