Pernahkah Anda memperhatikan betapa berbedanya sensasi antara menginjak dan diinjak? Ketika kaki kita secara tidak sengaja menginjak kaki orang lain, sering kali kita nyaris tidak merasakannya. Namun, ketika kaki kita yang diinjak—apalagi oleh sepatu berhak tinggi—rasa sakitnya bisa begitu menusuk. Perbedaan persepsi ini menyimpan pelajaran mendalam tentang bagaimana kita menjalani hidup dan berinteraksi dengan sesama. Ketika kita menyakiti orang lain, entah secara fisik maupun emosional, sering kali kita tidak sepenuhnya menyadari dampak dari tindakan tersebut.
Komentar yang kita anggap sepele bisa saja melukai perasaan seseorang secara mendalam. Keputusan yang kita ambil tanpa banyak pemikiran mungkin memiliki konsekuensi jangka panjang bagi orang lain. Layaknya menginjak tanpa merasa, kita bisa menjadi penyebab luka tanpa sepenuhnya menyadarinya. Di sisi lain, ketika kita menjadi pihak yang tersakiti, sensasinya seringkali terasa sangat nyata dan menyakitkan. Saat itulah kita terdorong untuk berteriak “ini tidak adil!” atau menganggap diri kita sebagai korban dari situasi atau perilaku orang lain. Layaknya kaki yang terinjak, rasa sakit itu nyata dan sulit diabaikan.
Terlalu sering kita terjebak dalam pola pikir sebagai “korban”—korban peristiwa, korban perilaku orang lain, korban keadaan. Pola pikir ini, meski terkadang memiliki dasar yang valid, bisa menjebak kita dalam lingkaran negatif yang tidak produktif. Untuk bertumbuh, kita perlu menyadari bahwa mungkin di kesempatan lain, kitalah yang pernah “menginjak” orang lain—meski tanpa sengaja. Konsep karma mengajarkan pada kita bahwa segala tindakan memiliki konsekuensi. Bukan dalam arti hukuman atau ganjaran sederhana, melainkan sebagai mekanisme alam yang menjaga keseimbangan.
Ketika kita memahami prinsip ini, kita akan lebih berhati-hati dalam bertindak dan berinteraksi dengan orang lain. Bagaimana kita memutus siklus ini? Jawabannya terletak pada empati—kemampuan untuk membayangkan diri kita berada di posisi orang lain. Ketika kita mengingat rasa sakit diinjak, kita akan lebih berhati-hati agar tidak menginjak. Ketika kita mengingat perasaan disakiti, kita akan lebih peka agar tidak menyakiti.
Kehidupan ini penuh dengan momen-momen di mana kita berganti peran, kadang sebagai yang menginjak, kadang sebagai yang terinjak. Memahami dualitas ini membantu kita menjadi individu yang lebih bijaksana dan penuh perhatian. Alih-alih terus merasa sebagai korban, mari kita gunakan pengalaman disakiti sebagai pengingat untuk tidak menyakiti orang lain. Dan ketika kita menyadari telah menyakiti seseorang, mari kita miliki kerendahan hati untuk mengakui, meminta maaf, dan belajar darinya.
Mungkin, ini adalah salah satu pelajaran terbesar dalam hidup: mengubah rasa sakit menjadi pemahaman, dan mengubah pemahaman menjadi kebijaksanaan.
Beni Nur C .,S.Pd.I.,M.Pd.,M.H
Pengamat Pendidikan dan Politik
Komentar