Portalika.com [SOLO] – Tidak lama lagi hajatan pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak segera digelar di seluruh Indonesia pada 27 November 2024. Insan media tentu sudah bersiap diri menangkap momen penting bersejarah ini.
Namun salah seorang akademisi Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta berpesan agar dalam pemberitaan media harus berpihak. “Media tidak boleh netral, saya tidak setuju kalau media netral. Media harus berpihak, tapi harus berpihak kepada kebenaran dan kepentingan publik,” ujar dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UNS, Solo, Jateng, Sri Hastjarjo, PhD saat diskusi di Hotel Dana Solo, Selasa 17 September 2024.
Pada Selasa lalu Persatuan wartawan Indonesia (PWI) Solo bekerja sama dengan Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) Provinsi Jateng menggelar ngobrol santai dan sharing seputar media, informasi dan Pilkada 2024.
Acara bertemakan Penguatan Keterbukaan Media/Pers Mendukung Keterbukaan Demokrasi Pemetaan Peran Media dalam Menyukseskan Pilkada Jateng 2024 ini dihadiri sekitar 50 orang dari berbagai elemen.
Dia juga mengemukakan media sosial (Medsos) juga harus setia kepada kebenaran tanpa kepentingan. Media tidak boleh netral, kalau netral berarti tidak punya sikap.
Dia mencontohkan ada koruptor menilep uang sekian triliun rupiah dihukum dua tahun. Kalau media netral, tidak akan mempermasalahkan.
Menurut dia ada beberapa fungsi media massa, di antaranya mengawasi apa yang terjadi kemudian dilaporkan. Tapi kalau media massa hanya melakukan itu tak ada bedanya dengan mesin foto copy.
Tak ada bedanya dengan alat perekam yaitu hanya mendengar orang ngomong terus ditulis ulang. Padahal, ujar dia, media massa sebenarnya memiliki tugas untuk memberi makna, peristiwa ini maknanya apa bagi publik.
“Jadi tidak sekadar mengutip pendapat seseorang dan kemudian menuliskannya. Kemudian ada fungsi pedidikan sosial. Itu tadi yang ideal,” papar Hastjarjo.
Independensi Media Harus Ditegakkan
Dia menambahkan independensi media tetap harus ditegakkan, artinya media massa tidak boleh sampai sikapnya dipengaruhi. Karena beberapa media sekarang pemiliknya adalah juga pemilik parpol.
Media juga berfungsi sebagai anjing penjaga. “Tugasnya anjing itu adalah menyalak atau memberikan suatu warning kalau ada bahaya utuk kepentingan publik. Itu semua adalah idealnya,” ujar dia.
Namun, ungkap dia, realitasnya media massa tidak pernah bisa menyajikan realita secara utuh. Media dinilai selalu hanya memilih sebagian realitas untuk dilaporkan. Sehingga tidak semua yang masuk di media itu mewakili realitas secara utuh.
Media pasti memilih dan pertimbangannya banyak. Di antaranya, ada news valuenya atau tidak. Kalau aktivitas itu tidak ada news value-nya tidak akan dimuat. Karena ada kategori peristiwa itu penting dan tidak penting. Sedangkan Pemilu termasuk peristiwa yang penting.
Hastjarjo mengutarakan sekarang ini ada fenomena terbalik, dulu apa yang dikutip media akan diikuti masyarakat. “Sekarang tidak, apa yang viral di masyarakat dijadikan agenda. Kalau dulu rapat redaksi menentukan berita hari ini. Sekarang tidak demikian, rapat membahas apa yang lagi trending terus ditindaklanjuti.”
Jadi sekarang para influencer “berkuasa” untuk mengubah atau mempengaruhi isi media massa. Begitu tulisan influencer viral maka akan banyak yang mengikuti.
“Anda tidak usah menjadi wartawan tak masalah, tak usah menjadi anggota PWI, AJI dan sebagainya. Tetapi kalau ada masalah maka siap-siap urusannya dengan polisi. Karena nanti urusannya dengan KUHP dan UU ITE. Sebab mereka bukan jurnalis sehingga harus lebih hati-hati. Kalau wartawan urusannya dengan Dewan Pers sehingga ada mediasi dan seterusnya paling memberi hak jawab,” kata dia.
Kekuatan Netizen Luar Biasa
Lebih lanjut Hastjarjo menyoroti cara media dalam menyikapi pemberitaan, meski peristiwa yang didapati sama tapi cara memberitakannya sering kali beda-beda. Dia mencontohkan saat gempa di Cianjur, Jabar ada tiga media besar di Indonesia menulis dengan judul berbeda.
Cara media menulis menunjukkan frame sehingga mempunyai kepentingan masing-masing. Artinya media itu ketika orang membuat berita akan mengaitkan informasi itu dengan informasi yang lain.
Ini dilakukan media massa dan Medsos. Dalam teori komunikasi, kata dia, seorang wartawan itu bukan seorang yang bisa independen 100 persen ketika mengerjakan tugas jurnalistik. Karena sudah banyak pengaruh di antaranya idealismenya, institusi atau lembaga di mana dia bekerja.
“Wartawan yang bekerja di media grupnya Hery Tanusudibyo dan di grup miliknya Surya Paloh akan ada tekanan yang berbeda,” papar dia.
Tetapi sekarang kekuatan netizen dinilai luar biasa, ikut mengontrol isi media massa termasuk kerja jurnalis. Jadi sekarang seorang jurnalis harus menimbang-nimbang jika ingin membuat berita.
“Ini nanti efeknya ke netizen seperti apa atau senngaja ingin membuat efek tertentu biar netizen ramai. Karena kita harus mengakui kekuatan nerizen sampai bisa mengubah policy. Umpama dulu netizen tidak ramai-ramai, Kaesang bisa maju mencalonkan diri. Wong ketika itu DPR sudah rapat dan sebagainya. Kalau ketika itu semua diam dan tidak demo, Kaesang akan jadi.”
Verifikasi Jurnalis Berlapis
Contoh lain, papar Hastjarjo, ketika tiket masuk ke Candi Borobudur mahal sekali netizen bereaksi sehingga harga tiket tidak jadi dinaikkan.
Dia juga menjelaskan peran media salah satunya sebagai sumber informasi yang akurat. Sementara Medsos kadang untuk bagian ini karena tidak ada yang mengontrol maka kurang memadai.
Menyinggung beda jurnalis dengan pegiat Medsos, kalau jurnalis verifikasinya berlapis. Sehingga wartawan sebelum menulis melakukan beberapa kali kroscek, terus masuk ke redaksi dicek lagi. Untuk beberapa berita yang sensitif maka redpelnya akan menelepon ke nara sumber guna memastikan kebenaran.
“Kalau nanti berita ini diturunkan bermasalah atau tidak, jadi berlapis,” katanya.
Itu pun nanti kalau sudah bagus, belum tentu dimuat karena berbagai pertimbangan sekalipun nilai beritanya tinggi. Karena kalau eksesnya luar biasa maka tidak akan dimuat.
Sehingga minimal ada empat lapis, sementara di medsos sama sekali tidak ada. Di medsos ketika pembuat tulisan merasa yakin, langsung diposting dan kadang tidak melakukan check and recheck.
Jurnalisme Positif
Sementara itu Kepala Bidang Politik Dalam Negeri Kesbangpol Jateng, Agung Kristiyanto mengatakan media dituntut mengedepankan jurnalisme positif dan berkolaborasi dengan semua pihak dalam mewujudkan Pilkada 2024 yang damai.
Dia menilai peran media tidak hanya sebagai penyampai informasi, tapi juga dalam membentuk opini publik yang konstruktif.
“Pilkada 2024 merupakan momen krusial dalam demokrasi kita. Di sinilah peran media sangat signifikan untuk memastikan setiap tahapan Pilkada berjalan baik, aman dan damai,” papar dia.
Sedangkan Ketua PWI Kota Solo, Anas Syahirul mengatakan media diharapkan bisa menjadi solusi dan penjernih jika terjadi permasalahan atau kekacauan dalam Pilkada, baik pemilihan gubernur, pemilihan wali kota, maupun pemilihan bupati.
“Wartawan juga menjadi filter kemungkinan terjadinya sebaran berita hoax tentang Pilkada,” kata dia.
Selanjutnya Ketua Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) Surakarta, Suwarmin lebih menekankan perubahan landscape media, seiring perubahan teknologi. “Media saat ini sudah tidak lagi satu satunya sarana informasi dan advertensi,” tegas dia pada acara yang juga dihairi anggota Mafindo Pusat, Niken Satyawati ini.
Menurut dia media mainstream juga sudah tidak lagi satu-satunya penyebar informasi. Sebab ada Medsos yang makin masif dalam persebaran informasi. (Iskandar)
Komentar