Program makan gratis yang kini dilaksanakan di berbagai daerah sungguh merupakan inisiatif cemerlang dari pemerintah. Sebagai pengamat yang menyaksikan langsung implementasinya, penulis menyadari bahwa program ini memiliki potensi luar biasa, tidak hanya untuk memperbaiki gizi anak, tetapi juga membentuk karakter mereka—jika dijalankan dengan tepat.
Namun, ada satu kekhawatiran yang terus mengganggu pikiran penulis. Program yang bagus ini tampaknya belum memiliki SOP (Standar Operasional Prosedur) yang memadai. Penulis melihat anak-anak cenderung “dilayani” sepenuhnya, terutama di tingkat pendidikan menengah dan atas, tanpa ada upaya untuk melibatkan mereka dalam proses. Ini menurut penulis sangat disayangkan.
penulis bukannya menentang bantuan untuk anak-anak, tetapi justru memikirkan dampak jangka panjangnya. Ketika segala sesuatu disediakan dan “disuapkan”, mereka terbiasa menerima, bukan memberi atau bertanggung jawab. Bukankah kita justru sedang menciptakan generasi yang terbiasa menjadi “raja” yang dilayani?
Dari pengamatan penulis, untuk tingkat PAUD atau SD kelas awal (kelas 1dan 2), memang wajar bila guru membantu menyiapkan makanan. Tetapi mulai kelas 3, 4, 5, 6, SMP, hingga SMA/SMK, menurut saya sudah waktunya mereka dilibatkan. Mereka bisa membentuk tim, bergiliran mendistribusikan makanan, bahkan membersihkan peralatan makan mereka sendiri.
Bayangkan, apa jadinya ketika mereka lulus nanti? Tanpa pembiasaan mengurus diri sendiri, bagaimana mereka bisa menjadi pribadi mandiri dan bertanggung jawab?
Penulis mengusulkan, sebaiknya ada prosedur jelas mulai dari pengambilan makanan dari petugas gizi hingga pengembalian tempat makan. Anak-anak dapat dilibatkan secara bergantian. Mereka bisa diajarkan mencuci peralatan makan sendiri—mungkin tidak sempurna, tetapi setidaknya ada proses belajar. Petugas gizi tentu bisa mencuci ulang untuk memastikan kebersihan.
Soal guru yang tidak mendapat jatah, menurut penulis itu bukan masalah, karena fokusnya memang pada gizi siswa. Yang jauh lebih penting adalah bagaimana program ini juga menanamkan nilai-nilai kemandirian.
Penulis menyaksikan sendiri, di beberapa sekolah yang sudah menerapkan sistem piket dan tanggung jawab bagi siswa, hasilnya sangat positif. Anak-anak justru bangga bisa berkontribusi. Mereka juga lebih menghargai makanan dan lingkungan.
Harapan penulis, para penentu kebijakan dapat memikirkan kembali SOP program makan gratis ini. Jangan sampai kita lupa, di balik perut yang kenyang, ada karakter yang harus dibentuk. Memanjakan anak bukan berarti melayani sepenuhnya, tetapi juga mengajarkan tanggung jawab sesuai usia dan kemampuan mereka.
Program makan gratis sebaiknya bukan hanya tentang memberi makan, tetapi juga mendidik. Bukan hanya mengenyangkan perut, tetapi juga membangun jiwa. Penulis percaya, dengan pendekatan yang tepat, program ini bisa menjadi salah satu pilar pembentukan generasi mandiri yang kita dambakan. (*)
*) Dosen Staimas Wonogiri
Komentar