Sebagai seseorang yang memiliki tubuh yang sehat, tentu sangat mudah bagi kita untuk mengakses infrastruktur dan teknologi yang tersedia pada suatu lingkungan masyarakat. Contoh paling sederhananya adalah, bayangkan seberapa mudahnya diri kita membuka pintu yang tertutup untuk
memasuki suatu gedung ataupun ruangan.
Namun sekarang, bayangkan diri anda sebagai seseorang yang sedang menggendong bayi atau sedang membawa kantong belanja di kedua tangan anda maupun sebagai seorang pengidap penyakit syaraf maupun cidera pada tangan anda?
Sekarang tentu saja hal yang awalnya tampak sederhana seperti membuka pintu kini nampak sebagai suatu hal memfrustrasikan apalagi jika hal tersebut harus dilakukan berkali-kali dalam satu hari.
Demikian merupakan satu dari berbagai macam contoh ketidaksetaraan yang terdapat dalam desain infrastruktur dan produk yang terjadi di masyarakat terhadap kurang lebihnya 22,97 juta orang penyandang disabilitas di Indonesia atau sekitar 8.5% yang berdasarkan data dari Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (2021) merupakan penduduk Indonesia penyandang disabilitas.
Berarti dengan tidak langsung, kita telah mengucilkan kurang lebih 8.5 dari 100 orang-orang dari penggunaan infrastruktur kita meskipun mereka sendiri tidak memilih untuk hidup dengan kondisi yang mereka miliki.
Seharusnya, pihak yang memegang tanggung jawab sebagai pihak yang “mendesain” sesuatu baik itu sarana infrastruktur maupun produk harus mendesain dengan mengutamakan inklusifitas dan aksesibilitas terhadap desain tersebut.
Dalam konteks desain infrastruktur dan produk, suatu ruang harus dapat diakses dengan mudah dan leluasa oleh pengguna yang memiliki tinggi badan, postur maupun mobilitas yang beragam.
Pintu otomatis contohnya merupakan salah satu sarana yang inklusif terhadap penggunanya, karena dengan pintu otomatis, orang yang memiliki penyakit syaraf, cedera tangan, pengguna kursi roda maupun alat pembantu mobilitas lainnya dapat dengan mudah mengakses suatu infrastruktur (Centre for Excellence in Universal Design, 2024).
Inklusifitas juga harus diaplikasikan pada sarana infrastruktur yang tidak bersifat fisik seperti produk teknologi maupun sarana publik. Terutama pada era digital dimana semua orang berhak untuk memiliki akses yang mudah terhadap media-media digital seperti sosial media, situs website, serta media digital lainnya (Remotivi, 2019).
Infrastruktur digital juga harus didesain dengan sedemikian rupa dimana orang-orang yang tidak dapat menggunakan media digital dengan semestinya seperti penyandang tuna netra dapat mengakses suatu informasi yang tertera pada media digital dengan mudah dan tanpa adanya interupsi.
Contohnya, media berita online seharusnya memasukkan seluruh konten berita dalam satu halaman tanpa jeda dari iklan di antara paragraf supaya para penyandang tuna netra dapat menggunakan alat bantu screen reader atau pembaca layar mereka untuk mengakses informasi yang
tertera di media berita online tersebut tanpa adanya kesulitan yang signifikan.
Dengan mengimplementasikan desain yang inklusif dan mudah diakses, tentu saja pada akhirnya yang diuntungkan bukan hanya mereka yang memiliki kebutuhan khusus. Desain yang inklusif pada akhirnya memiliki efek yang positif bagi seluruh orang dikarenakan betapa mudahnya kita mengakses sesuatu (Howe & Martel, 2024).
Desain seharusnya mampu memberi akses dan kemudahan bagi siapapun, sejatinya desain sebagai sesuatu yang berfungsi meningkatkan kehidupan manusia. (*)
Penulis : Kafka Rafiza Priando (Mahasiswa Prodi DKV FSRD ISI Surakarta)
(*) Isi menjadi tanggungjawab penulis
Komentar