Dinamika Demokrasi Indonesia

banner 468x60

Ketika tokoh-tokoh pergerakan ditangkap oleh Belanda kemudian diasingkan berpindah-pindah tempat, seperti Muhammad Hatta tahun 1935 diasingkan ke Banda Neira Maluku, Sayuti Melik dari tahun 1927- 1938 diasingkan ke Boven Digul beserta Sutan Sjahrir, Muchtar Lutfi, Ilyas Yacoub dan Mas Marco Kartodikromo. Kemudian Iwa Koesoemasoematri dan dr Cipto Mangunkusumo ke Banda Neira Maluku, Ir Sukarno tahun 1933 diasingkan ke Ende Flores NTT beserta keluarganya dan masih banyak tokoh-tokoh lainnya.

Hak mereka dikebiri, tidak boleh berpolitik tentunya. Meski dalam pengasingan mereka masih bisa bergerak dalam pemikiran. Mereka merenungkan ide-ide terbaik untuk bangsa. Mereka bergerak dalam kegiatan sosial, menyelenggarakan kursus-kursus pendidikan pada anak-anak lokal di sekitar pengasingan. Uniknya kegiatan mereka diterima oleh masyarakat sekitar dan bisa dijalankan dengan baik.

banner 300x250

Sebagai contoh Mohammad Hatta menyelenggarakan kegiatan belajar mengajar untuk anak-anak kecil. Lantas, Dr Cipto Mangunkusumo – dalam kondisi keterbatasan fisiknya yang melemah karena penyakit asmanya – masih melakukan praktik kedokteran melayani masyarakat sekitar hingga akhir hayatnya dan Ir Sukarno membuat naskah-naskah sandiwara untuk dimainkan oleh anak-anak.

Setelah mereka dibebaskan dari pengasingan dan penjajahan berganti dari Belanda ke Jepang, para tokoh pergerakan ini menggunakan dua taktik untuk melawan penjajah yaitu kooperatif dan tidak kooperatif. Pemerintah Jepang melarang dibentuknya organisasi-organisasi lokal namun mereka membentuk organisasi sendiri yang bertujuan utama untuk mendukung pemerintah Jepang dalam perang Asia Timur Raya.

BPUPKI
Pada tahun 1945 kolonial Jepang dengan sisa-sisa kekuatannya merekayasa situasi untuk menarik simpati rakyat Indonesia, Jepang menjanjikan kemerdekaan dan membentuk Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) alias Dokuritsu Junbi Cosakai pada tanggal 1 Maret 1945. Kesempatan itu tentu saja tidak disia-siakan sedetikpun oleh seluruh tokoh pergerakan. Alih-alih mendukung Jepang dalam perang, BPUPKI bergerak secepat mungkin merumuskan dasar negara. Hingga setelah dilaksanakannya sidang kedua, kolonial Jepang ketakutan karena Bangsa Indonesia akan segera memproklamasikan kemerdekaannya maka BPUPKI pun dibubarkan.

Dewi keadilan berpihak pada bangsa Indonesia, meskipun dipersulit sedemikian rupa akhirnya Tuhan merestui pada 17 Agustus 1945 bangsa Indonesia Merdeka. Tahun 1955 sebuah pamflet bertebaran disepanjang sudut negeri, “Pemilihan umum djangan menjadi tempat pertempuran. Perdjuangan kepartaian yang dapat memetjah persatuan bangsa Indonesia.”

Elok pesannya, mengena dan tepat sasaran. Pamflet itu dibuat oleh Ir Sukarno sebagai pesan untuk hajatan negara yang sangat krusial yaitu pemilihan umum pertama. Diselenggarakan sebagai gelaran pesta rakyat untuk pertama kalinya, sebuah agenda besar yang disusun oleh Kabinet Ali Sastroamidjojo I dan dilaksanakan oleh Kabinet Burhanudin Harahap. Gelaran pemilu pertama inilah tonggak awal kebebasan, persamaan hak diterapkan dan menjadi barometer kedaulatan rakyat sejati.

Penyelenggaran pemilu tahun 1955 diselenggarakan dalam euphoria kemerdekaan yang masih melekat kuat. Negara yang masih terbilang sangat muda sedang mempersiapkan suksesi kepemimpinan. Ir Sukarno mewanti-wanti bahwa pemilihan umum jangan sampai melahirkan perpecahan. Pemikirannya menegaskan bahwa negara Republik Indonesia terlalu kecil untuk diklaim oleh satu golongan saja.

Ir Sukarno menggagas Konferensi Asia Afrika tanggal 18 sampai 24 April 1955 di Bandung, gaungnya menyebar ke seluruh dunia. Gerakan ini disebut Gerakan non blok, gerakan penyeimbang antara blok barat dan blok timur. Akan sia-sia jadinya jika internal bangsa hanya dikuasai ego sektoral golongan mayoritas saja. Indonesia adalah negara besar dan negara yang bermartabat sehingga semua golongan, semua agama, semua suku, berbagai macam adat-istiadat harus tetap dimiliki oleh Negara Kesatuan Republik Indonesia dan menjadi ciri khas budaya negara.

Penegasan ini disampaikan oleh Ir Sukarno berulang kali dalam pidatonya di setiap rapat umum yang dihelat beberapa bulan sebelum pemilihan umum. Kekuasaan itu candu, sangat adiktif. Banyak orang yang gila kekuasan. Jika kekuasaan dipegang oleh orang-orang yang serakah siklus demokrasi akan menjadi rusak. Kekuasaan bagi orang- orang yang diberi mandat biasanya akan berusaha bagaimana caranya mengeksploitasi seluruh sektor kehidupan untuk mencapai tujuannya.

Namun, kekuasaan pun bisa menjadi alat kontrol kestabilan tatanan masyarakat. Mengatur dan mengorganisir semua lini sendi penggerak ekonomi rakyat tergantung pada siapa kekuasaan itu akan dipegang. Oleh karena itu, untuk mengawal proses pergantian kekuasaan dan untuk memilih yang terbaik dari yang baik. Masyarakat Indonesia berhak menentukan langsung apa dan siapa yang dikehendaki untuk memimpin, mengatur juga menata tatanan sistem sosial masyarakat.

Berbagai macam cara untuk meraih kekuasaan tersebut diatas akan membuka peluang konflik terbuka atau tertutup, tergantung cara main mereka, cara mereka membangun strategi dan cara mereka mengontrol karakter pribadinya dalam kedudukannya.

Pemilu tahun 1955 adalah pemilu pertama yang mengusung kebebasan hak individu untuk memilih dan dipilih. Dasar pelaksanaannya adalah ekskalasi politik pasca revolusi kemerdekaan. Rentang tahun 1945 hingga tahun 1952 menjadi proses awal terbentuknya demokrasi liberal, perpecahan ideologi multi partai menjadi meruncing, bukan hanya dalam tataran adu debat parlemen tapi sudah mengarah ke adu fisik bahkan hingga revolusi fisik pun terjadi.

Puncaknya terjadinya peristiwa 17 Oktober 1952 dimana moncong meriam diarahkan ke istana oleh tentara atas arahan Kemal Idris yang menuntut pembubaran DPRS. Pertarungan terbuka antar anak bangsa mengancam negara kesatuan yang baru berdiri. Mereka yang berkuasa pada saat itu besar kemungkinan mengalami amnesia massal, bahwa kepentingan bangsa dan negara adalah kepentingan tertinggi dan tak bisa ditawar lagi.

Egosektoral
Sejak 17 Agustus 1950 Indonesia menggunakan Undang Undang Dasar Sementara (UUDS), amanat UUDS dijalankan oleh Kabinet Natsir, Kabinet Sukiman, Kabinet Wilopo dan Kabinet Ali Sastroamijoyo 1 mempunyai usia tidak lebih dari satu tahun. Itu adalah bukti tak terbantahkan dari semua rangkaian egoisme kultural dan sektoral terjadi. Ke-172 partai bertarung pada konstelasi politik pertama kali, bersaing untuk menjadi suksesor berikutnya.

Kegiatan pemilu dimulai pada tanggal 29 september 1955 untuk memilih anggota DPR dilanjutkan tanggal 25 Desember 1955 untuk memilih anggota konstituante. Apakah gelaran pemilihan pertama itu berhasil? Tidak hanya berhasil tapi luar biasa sukses besar. Dibenak penulis pemilu itu sudah menjadi catatan emas sejarah. Contoh asli penerapan demokrasi liberal seutuhnya. Perhelatan yang sangat indah, pembuktian liberalisme yang nyata dan perubahan kekuasaan yang sangat demokratis dalam situasi chaos fisik.

Namun setelah masa keemasan itu masyarakat terlena. Tidak ada batasan yang jelas dalam beretika berdemokrasi, ketidakpuasan merajalela. Kebebasan diterapkan secara bebas tanpa batasan. Semua berhak berbicara, semua berhak berpendapat, semua berhak mengawal kepentingannya masing-masing, semua berhak menuntut. Sekali lagi pendahulu kita pada saat itu lupa bahwa bangsa ini baru saja lahir. Ibu pertiwi masih merasakan luka dan luka itu belum sembuh tapi anak-anak buminya menuntut berdiri saling tumpang tindih, saling menyakiti satu dengan yang lainnya dan lebih mengutamakan kepentingan golongannya.

Sangat disayangkan Panitia Pemilihan Indonesia II yang dilantik oleh Ir Sukarno pada tahun 1958 untuk masa tugas berikutnya tidak bisa bekerja semestinya, gelaran pemilihan berikutnya tidak berlanjut. Geliat suksesi kepemimpinan pada masa itu mengalami chaos. Maka Presiden Republik Indonesia mencanangkan dekrit presiden pada tanggal 5 Juli 1959 yang isinya kembali kepada UUD 1945.

Setelah peristiwa G30S PKI, kepemimpinan beralih dari Ir Sukarno ke Letnan Jenderal Suharto. Suharto dan kroninya menggerakkan para mahasiswa dan pemuda tergabung dalam KAMMI dan KAPPI membuat demo massif menuntut Tritura yaitu pembubaran PKI beserta ormas-ormasnya, perombakan Kabinet Dwikora dan turunkan harga pangan. Dengan Supersemarnya, Suharto akhirnya membubarkan PKI dan organisasi sayap.

Presiden pertama dalam sejarah Indonesia Ir Soekarno diberhentikan melalui ketetapan MPRS No. XXXIV/MPRS/1967 melalui sidang istimewa di bulan Maret 1967 dan era demokrasi terpimpin terhenti. Menurut Bambang Supriyadi dalam Jurnal “Suksesi Kepemimpinan di Indonesia” (PERSPEKTIF-Volume 2 No. 3 Tahun 1997 Edisi Oktober 29) menyatakan: “Pola kepemimpinan yang kompleks dan berjenjang-jenjang. Kehadiran pemimpin mungkin sebagai simbul eksploitasi antara mereka yang memimpin dan yang dipimpin atau bahkan merupakan konsesus diantara masyarakat tersebut untuk mengukuhkan sistem sosial dengan cara memunculkan pemimpin yang mereka kehendaki.”

Orde Baru
Bergulir ke tahun 1967, Suharto diberi kekuasaan oleh MPRS sebagai pejabat presiden pada tanggal 12 Maret. Kemudian tanggal 27 Maret 1968, Suharto ditetapkan menjadi Presiden sesuai hasil Sidang Umum MPRS melalui TAP MPRS No. XLIV/MPRS/1968. Orde baru menurut penulis adalah orde kemunduran demokrasi. Selama 32 tahun berkuasa era Suharto adalah era militerisme, dominasi kekuasan negara yang dikuasai TNI dengan dwifungsi ABRI.

Sistem fusi yang digunakan adalah bukti nyata tak terbantahkan kebebasan dibungkam secara sitematis. Fusi kepartaian menyisakan dua partai dan satu golongan karya. Partai Nasional menjadi Partai Demokrasi Indonesa, Partai Agama Islam menjadi Partai Persatuan Pembangunan dan Golongan Karya.

Orde baru menyelenggarakan pemilu hingga 5 kali pada tahun 1977, 1982, 1992 dan terakhir pada 1997. Namun sebelum hajatan pemilu dimulai semua masyarakat sudah mengetahui hasilnya. Partai politik didikte untuk secara aklamasi memilih Suharto kembali. Pada tahun 1997, Ketua Umum Golongan Karya, H.l Harmoko di DPP Golkar pada tanggal 13 Januari 1998 menyatakan bahwa berdasarkan suara aspirasi masyarakat luas, Bapak Letnan Jendral H Suharto masih didukung penuh oleh Rakyat Indonesia sebagai Presiden RI periode 1998-2003.

Tahun 1998 adalah jawaban dari puncak pengakhiran kekuasaaan orde baru. Kemarahan masyarakat tak terbendung. Reformasi bergulir dan 1998 orde baru jatuh. Sejarah mencatat Soeharto digantikan oleh BJ Habibie melalui sidang istimewa MPR RI tanggal 23 Juli 2001 melalui ketetapan MPR RI No. II/MPR/2001. Euphoria reformasi begitu kuat, agenda pemilu yang sekiranya akan dihelat tahun 2002 dipercepat menjadi tahun 1999.

Kebebasan demokrasi menyeruak kembali. Dengan 48 partai politik peserta dalam kontestasi pesta rakyat itu pemenangnya adalah PDI Perjuangan namun Hj Megawati Sukarnoputri, Ketua PDI Perjuangan gagal menjadi presiden. Ketua MPR kala itu, H Amien Rais membangun poros tengah dan menawarkan kepada KH Abdurrahman Wahid. Maka pada tanggal 7 Juni 1999 terpilihlah Abdurrahman Wahid dan Megawati Soekarnoputri sebagai Presiden dan Wakil Presiden RI.

Apakah perhelatan tersebut lancar? Dalam pelaksanaan pemungutan suara lancar tapi tidak dalam penghitungan dan pembagian kursi. Ke-27 partai politik yang tidak mendapatkan kursi di DPR menolak menandatangani berita acara perhitungan suara. Mereka menolak pelaksanaan pemilu karena merasa tidak jujur dan adil. Pada pembagian kursi pun terjadi kericuhan, Partai Islam menolak jumlah kursi yang diterima. Bagaimana solusinya?

Sistem Berbeda
KPU yang pada masa itu memiliki jumlah anggota cukup gemuk mengalami kesulitan, friksi tak bisa dihindari sehingga KPU menggunakan voting untuk menentukan keputusan. Pemilu 2004 dilaksanakan dengan sistem yang berbeda, sistemnya menggunakan rangking untuk menentukan perolehan suara partai di daerah pemilihan. UUD 1945 telah diamandemen sebanyak 4 kali dari tahun 1999 hingga 2002 dan pemilu 2004 adalah pemilu pertama setelah diamandemen.

Pemilu 2004 berhasil melaksanakan pemilihan presiden secara langsung dalam dua putaran. Pemilu 2004 menurut pendapat penulis sepertinya pemilu yang paling detail dan rumit. Pemilu tahun ini adalah titik puncak idealisme dari demokrasi liberal. Semua sistem yang digunakan seideal mungkin, otomatis jika dilihat dari urutan kegiatan tersebut penulis yakin beaya yang dikeluarkan oleh negara cukup besar.

Selain itu kematangan pelaksanaan pemilu 2004 terlihat dari lembaga penyelenggara pemilu yang sudah mandiri dan jumlahnya sudah dikurangi menjadi 11 orang yang diambil dari unsur akademisi dan LSM, tidak sebanyak tahun sebelumnya.
<span;>Pelaksanaan pemilu 2009 diawali dengan sistem yang disahkan oleh keputusan Mahkamah Konstitusi hasil gugatan massal terhadap UU No 42 tahun 2008.

Pasal yang memuat syarat pencalonan 20% kursi DPR atau 25% perolehan suara nasional tentang Pemilihan Presiden dianggap melanggar UUD 1945 diganti menjadi partai peserta pemilu harus mencapai Parliamentry Threshold yaitu ambang batas perolehan suara nasional minimal 2,5% dalam pemilihan umum untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi di DPR dan DPRD.

Pemilu 2014, masih menggunakan kerangka yang sama dengan pemilu tahun sebelumnya. Hanya saja untuk pertama kalinya Lembaga Pengawas Pemilu dipermanenkan hingga ke tingkat provinsi sedangkan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) menjadi salah satu lembaga tersendiri. Pelaksanaan pemilu masih diwarnai gugatan oleh dua partai politik yang semula tidak lolos verifikasi yaitu PBB dan PKP.

Gugatan itu dimenangkan oleh kedua partai sehingga peserta pemilu bertambah yang tadinya 10 menjadi 12 ditambah 3 partai lokal di Aceh. Pemilu 2019, dengan konsep yang mengalami perubahan juga. Untuk pertama kalinya dilaksanakan secara serentak, memilih pasangan Presiden dan wakil Presiden serta anggota legeslatif dalam satu rangkaian kegiatan dan satu waktu. Tentu saja konsep yang berubah kali ini hasil dari gugatan ke MK yang diputuskan dalam Putusan MK No. 14/PUU-XI/2013 dan kemudian melahirkan Undang Undang No. 7 Tahun 2017.

Lembaga Permanen
Pengawas Pemilu dipermanenkan hingga ke tingkat kabupaten atau kota bernama Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Parliamentry Threshold berubah menjadi 4%. Pada Undang-Undang No 7 Tahun 2017 pasal 415 ayat 2 menyebutkan “Dalam hal penghitungan perolehan kursi DPR, suara sah setiap partai politik yang memenuhi ambang batas perolehan suara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 414 ayat (1) dibagi dengan bilangan pembagi 1 dan diikuti secara berurutan oleh bilangan ganjil 3; 5; 7; dan seterusnya”.

Perubahan Pemilu tahun 2019 cukup signifikan, masyarakat semakin cerdas dan kritis. Hukum dibuat semakin ketat dan detail untuk mengendalikan dan mengatur seluruh rangkaian proses pemilihan umum. Kematangan berdemokrasi terlihat jelas dan nyata. Indonesia menuju ke perubahan yang pasti lebih baik. Masyarakat menjadi lebih cerdas lagi dalam mengawal pesta demokrasi.

Kontrol masyarakat sudah berjalan sebagaimana mestinya. Sejarah telah membuktikan bahwa proses berdemokrasi dalam pemilihan umum bertahap semakin meningkat kearah positif. Bangsa ini membaik, proses berdemokrasi yang berdarah-darah tidak menjadikan trauma permanen justru menjadi pemicu tumbuhnya rasa kebangsaan yang kuat di diri anak-anak ibu pertiwi.

Kemudian apakah pemilu Tahun 2024 nanti akan seperti pemilu Tahun 2019 atau akankah ada perubahan? Penulis meyakini tidak mungkin sama, saat ini juga telah tercatat berbagai macam gugatan bergulir di MK baik yang sudah keluar ketetapannya dan yang belum keluar. Contoh pertama, perkara nomor 37/PUU-XVII/2019 terkait pemungutan suara dilaksanakan secara serentak pada hari libur atau hari yang diliburkan secara nasional, hasil keputusan sidang MK tuntutan uji materi ditolak secara keseluruhan.

Contoh berikutnya, perkara nomor 114/PUU-XX/2022 gugatan uji materil tentang pemilu yang menuntut perubahan sistem pemilu proposional diubah menjadi tertutup. Jika kita menggunakan sistem tertutup kita tidak akan melihat lagi kertas suara bergambar foto calon legeslatif. Kita hanya akan disuguhi gambar partai saja. Sistem pemungutan suaranya juga pasti berubah. Sistem penentuan calon terpilih pun pasti berubah. Gugatan ini menurut penulis adalah gugatan terhadap dasar pelaksanaan demokrasi liberal.

Menarik sekali, kebebasan individu dalam memilih langsung akan digantikan sistem keterwakilan partai yang akan memilih. Ada sisi positif dan sisi negatifnya diantara dua sistem ini. Jika kita berpatokan kepada UUD 1945 negara dan pemerintah wajib melindungi dan menghormati hak serta kebebasan setiap warga negara untuk bisa dipilih dan memilih langsung. Sistem pemilu proposional adalah jawabannya. Langsung, tanpa diwakili siapapun. Masyarakat bebas dan berhak memilih.

Modal Ketenaran
Yang sudah memiliki modal ketenaran tanpa kualitas lebih banyak menjadi pemenangnya, sedangkan orang berkualitas tapi tidak memiliki ketenaran akan tenggelam dan tersingkir dengan sendirinya.

Sedangkan sistem tertutup, menurut penggugat akan memaksimalkan peran partai secara signifikan untuk menentukan kandidat yang akan ditempatkan sesuai dengan verifikasi dan validasi partai. Masyarakat akan diwakili oleh partai untuk memilih orang-orang yang kompeten pada tempatnya. Mereka akan menjadi kader hasil didikan partai, kader tersebut diseleksi internal, dididik langsung oleh partai, dipersiapkan sedemikian rupa dan nantinya akan ditempatkan duduk di pos jabatan terpilih yang sesuai dengan karakternya.

Sistem tertutup akan melindungi kader partai yang berkualitas, mereka tidak akan tersingkir oleh popularitas tapi terposisikan dengan tepat sesuai dengan kemampuan masing-masing. Namun jika kita lihat dari segi beaya pelaksanaan, secara kalkulasi anggaran beaya negara lebih hemat mana antara sistem proporsional dengan sistem tertutup? Diatas kertas bisa jadi sistem tertutup lebih hemat dibandingkan sistem proporsional.

Jika dilihat dari pelaksanaan, apakah sistem proporsional lebih rigid ketimbang sistem tertutup? Jika dilihat dari waktu, apakah sistem tertutup lebih singkat pelaksanaannya ketimbang sistem proporsional? Semua analisa tersebut bisa saja, apa saja tergantung siapa yang menganalisanya, jangan lupa banyak juga faktor pendukung lainnya yang tidak bisa diprediksi dan bergerak dinamis. Terlebih lagi konstelasi lokal yang genre-nya bisa berubah sesuai mood masyarakat itu sangat telak pengaruhnya.

Sampai penulis memuat ulasan ini putusan MK dan sistem pemilu hibrid dilihat dari website resmi MK belum keluar keputusannya. Semoga saja putusan yang ditetapkan oleh MK nantinya mengutamakan ruang aspirasi dan partisipasi masyarakat seluas-luasnya, jangan ada penyunatan hak-hak rakyat, pengkerdilan peran langsung masyarakat dan keputusannya mampu memaksimalkan kualitas keterwakilan.

Gugatan MK
Contoh yang terakhir, selanjutnya perkara nomor 4/PUU-XXI/2023 mengenai gugatan perpanjangan masa jabatan Presiden dari 2 periode menjadi 3 periode dengan hasil MK menolak gugatan. Kedepan nantinya, penulis yakin gugatan-gugatan tersebut pasti akan selalu ada. Karena merupakan proses pendewasaan dalam berdemokrasi. Gugatan tersebut justru akan membuat sistem pemerintahan dan ketatanegaraan kita semakin matang. Suksesi kepemimpinan berjalan rapi dan mulus.

Konflik kepentingan dan ego sektoral masing-masing peserta pemilu bisa terkendali. Kini pemilu 2024 sudah didepan mata, sebagai generasi kekinian tugas kita yang utama sekarang jangan sampai apatis, selalu bergerak aktif, kreatif dan kritis.

Dewasa dalam bersikap dan bijak dalam bermedia sosial menjadi tugas utama generasi strawberry. Gunakan hak kita sewajarnya dan kewajiban kita pada tempatnya. Kita harus mampu belajar dari luka sang ibu pertiwi. Kita harus mampu memilah yang baik dan membuang jauh yang buruk dari sejarah bangsa tercita. Kita harus mampu membangun sesuatu yang baru, yang positif, yang menguatkan sistem demokrasi bangsa. Kita harus mampu menyempurnakan proses pendewasaan kebinekaan dan memugar konsep berfikir yang cenderung membuat bangsa ini menjadi mundur. Kita harus bisa memanifestasikan perjuangan itu dikeseharian kita.

Mampukah generasi muda segera berbenah dan mempersiapkan diri dalam menghadapi perubahan? Sekali lagi ditegaskan jangan pernah apatis dalam berdemokrasi, kita adalah Indonesia dan Indonesia adalah kita.*

Penulis: Dina Natalia Christie, Magelang

Komentar