Portalika.com [SOLO] – Wakil Walikota (walkot) Solo, Teguh Santosa, Mangkunegara X dan putra bungsu Presiden Joko Widodo (Jokowi), Kaesang Pangarep menempati urutan teratas elektabilitas bakal calon (balon) walkot Solo periode 2024-2029. Sedangkan elektabilitas tertinggi tiga orang balon wakil walikota (balon wawalkot) Kota Solo masing-masing putri politisi senior Golkar, Sekar Krisnauli Tandjung, putri politisi senior PDIP Aria Bima, Yashinta Sekarwangi Mega dan Rektor Universitas Surakarta (Unsa) Astrid Widayani.
Hal itu dikemukakan Direktur Solo Raya Polling, Dr Drs H Suwardi MSi di Rumah Makan Bolo Dewe Kawasan Manahan, Solo, Jateng, Selasa 26 Maret 2024 sore. Dia menerangkan 12 figur potensial balon pemimpin Kota Solo.
Berdasar hasil survei dengan jumlah sampel 640 responden yang terdistribusi di 80 titik lokasi survei, Teguh memperoleh (35,3 persen) disusul Mangkunegara X Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya (KGPAA), Bhre Cakrahutama Wira Sudjiwo (25,3 persen) dan Kaesang (14,1 persen). Untuk peringkat balon wawalkot, Sekar memperoleh (7,3 persen), Yashinta (6,4 persen) dan Astrid (6,1 persen).
Baca juga: Kaesang, Mangkunegara X Dan Teguh Muncul Di Polling Bursa Cawalkot Solo 2024-2029
Nama-nama keenam sosok itu muncul dari survei Suwardi yang juga Dokan Fisip Universitas Slamet Riyadi (Unisri) Solo ini, saat menjajagi balon pemimpin Kota Solo pengganti Walikota Solo, Gibran Rakabuming Raka yang terpilih sebagai Wakil Presiden Republik Indonesia hasil Pemilu 2024 lalu.
“Pak Teguh ketika kami tanyakan ke responden di posisikan sebagai cawalkot yang memilih hanya [7,5 persen]. Ketika beliau disodorkan menjadi walikota angkanya jauh lebih tinggi yaitu [35,3 persen]. Untuk Sekar Tanjung ketika disodorkan menjadi wakil walkot angkanya [7,3 persen], tapi kalau disodorkan menjadi walikota hanya [1,4 persen],” ujar Suwardi.
Menurut dia untuk kandidat kuat balon walkot Kota Solo antara Teguh dan Bhre. Untuk Kaesang, Suwardi tidak yakin putra Jokowi ini akan ikut meramaikan kontestasi pemilihan Walikota Solo 2024.
Tuduhan Poliik Dinasti
Sebagai Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI) meski partainya di tingkat nasional tak lolos parliamentary threshold, ungkap Suwardi, mestinya maqom Kaesang berkiprah di tingkat nasional. Dia bisa menjadi menteri atau jabatan tingkat nasional lainnya.
Kalau nekat berkontestasi pemilihan kepala daerah atau pilkada walikota, tingkat resistensi masyarakat tentang tuduhan politik dinasti, melanggengkan kekuasaan dan sebagainya dinilai cukup tinggi. Beda halnya kalau dia di panggung nasional misalnya sebagai menteri, meski kemungkinan menghadapi resistensi sama, tapi dia akan menguasai sumber daya di kementerian yang dia pimpin.
“Perolehan ini penting untuk membesarkan partai Mas Kaesang daripada dia mengambil posisi di Solo. Sehingga saya tidak yakin Mas Kaesang mencalonkan wali kota Solo,” kata dia.
Ditanya potensi Sekar menjadi walkot Solo, Suwardi mengungkapkan berdasar keinginan masyarakat Sekar lebih pas di wawalkot dibanding menjadi walkot. Meski menjadi wawalkot, Sekar usianya masih muda dan karier politiknya masih panjang.
Solo Jadi Sentra Politik Nasional
Di bagian lain Suwardi mengungkapkan ada kepentingan nasional Partai Golkar untuk bisa membangkitkan dan mengobarkan Partai Golkar di Solo.
“Jangan lupa Solo itu adalah sentra politik nasional. Pertarungan di Solo tidak sekadar perebutan kursi wali kota-wakil wali kota. Tetapi perebutan gengsi politik di Indonesia,” ungkap dia.
Menyinggung kemungkinan bangsawan Mangkunegaran yang bukan dari partai politik (parpol) ini dilirik parpol untuk dicalonkan sebagai balon walkot, Suwardi mengatakan jika melihat aspek popularitasnya, walau masih 78,5 persen, elektabilitas Bhre di urutan dua di bawah Teguh Santosa dan di atas Kaesang dinilai sangat seksi. Permasalahannya bisa atau tidak Bhre menyelesaikan problem tentang posisi kultur budaya bangsawan dengan kultur budaya demokrasi.
Jika dia bisa memadukan, mengakomodasi kultur budaya demokrasi hal ini dinilai suatu yang luar biasa. “Seorang yang kulturnya dilayani kemudian menjadi sosok yang melayani, itu jauh lebih besar nilainya dibanding misalkan orang yang kulturnya melayani dan dia melayani. Ini biasa saja. Tapi kalau kultur budayanya dilayani kemudian dia melayani menjadi luar biasa, seksinya di situ,” papar Suwardi.
Bibit, Bobot, Bebet
Lebih lanjut dia menjelaskan berdasar hasil surveinya masyarakat Solo mayoritas menginginkan calon pemimpin kota berlatar belakang dari profesi pengusaha (25 persen), politisi (22,7 persen) dan kalangan profesional (10,6 persen).
Sedangkan yang berlatar belakang akademisi (7,2 persen), birokrat 5,6 persen) dan aparat TNI/Polri (3,1 persen). Faktor profesi orang tua calon juga dinilai akan banyak berpengaruh terhadap keputusan pemilih dalam menetapkan pilihan. Dia menilai orang Jawa lebih suka memilih dengan menggunakan bibit, bobot, bebet.
Dia mencontohkan Sekar Tandjung belum lama di Solo, tetapi kenapa elektabilitas dia dianggap cukup signifikan. Hal ini tak lepas dari kenyataan bahwa dia anak seorang politisi senior Partai Golkar, Akbar Tandjung. (Iskandar)
Komentar