Portalika.com [SOLO] – Konflik antara manusia dan satwa liar menjadi tantangan yang semakin kompleks seiring dengan pesatnya pembangunan infrastruktur dan perubahan fungsi lahan hutan menjadi area produktif seperti perkebunan dan pertanian serta permukiman masyarakat.
Perubahan peruntukan lahan ini tidak hanya menyebabkan hilangnya habitat satwa liar, tetapi juga meningkatkan intensitas interaksi antara manusia dan satwa liar, yang berpotensi memicu konflik yang akan merugikan kedua belah pihak.
Siaran pers yang diterima Minggu, 2 Februari 2025 menyebutkan, sebagai langkah proaktif dalam menghadapi tantangan ini, seminar bertajuk Memahami Konflik dan Koeksistensi antara Satwa Liar dan Manusia di Indonesia yang merupakan kerja sama antara Kementerian Kehutanan Republik Indonesia dan Taman Safari Indonesia (TSI), diadakan untuk mempertemukan pemerintah, para ahli, akademisi, pemerhati dan praktisi guna membahas solusi yang berkelanjutan.
Baca juga: Taman Safari Indonesia Rayakan Kelahiran Keluarga Baru
Seminar ini bertujuan meningkatkan pemahaman publik terhadap konflik dan pentingnya koeksistensi yang harmonis antara manusia dan satwa liar. Acara ini dihadiri oleh para undangan secara langsung di lokasi aviary, pada Jumat 17 Januari 2025 serta diikuti secara virtual melalui platform Zoom.
Sebanyak 1.000 peserta online turut serta, termasuk perwakilan dari berbagai balai taman nasional dan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) di seluruh Indonesia. Direktur Konservasi Keanekaragaman Hayati dan Sumberdaya Genetik, Direktorat Jenderal KSDAE, Kementrian Kehutanan RI, Nunu Anugrah SHut, MSc menegaskan bahwa konflik antara manusia dan satwa liar tidak hanya mengancam keberlangsungan spesies tertentu, tetapi juga keseimbangan ekosistem secara keseluruhan.
“Keberadaan satwa liar adalah indikator kesehatan ekosistem. Oleh karena itu, solusi berbasis kolaborasi antara pemerintah, masyarakat, dan sektor swasta sangat diperlukan untuk mengatasi konflik ini secara efektif,” ujar dia.
Perwakilan dari TSI, Tony Sumampau menyoroti keterlibatan aktif TSI dalam menangani konflik manusia dan satwa liar sejak tahun 1980-an melalui tim rescue yang profesional dan terlatih. “Kami terus berinovasi dan beradaptasi terhadap dinamika di lapangan untuk memastikan satwa liar di habitat aslinya [in-situ] tetap terlindungi dan lestari,” jelasnya.
Tiga Pembicara Utama
Seminar ini menghadirkan tiga pembicara utama yang berkompeten di bidangnya yakni Dr Philip Nyus, pakar konflik manusia dan satwa liar dari Colby College, Amerika Serikat. Dia membahas strategi mitigasi konflik antara manusia dan satwa liar, termasuk langkah-langkah preventif dan pendekatan berbasis komunitas yang telah terbukti efektif dalam mengurangi potensi konflik.
Kedua, Badiah SSi, MSi, Kepala Sub Direktorat Pengawetan Spesies dan Genetik, memaparkan data terkini terkait sebaran konflik manusia-satwa liar di Indonesia serta strategi mitigasi yang dapat diimplementasikan secara berkelanjutan.
Ketiga, Mohammad Irham MSc, pakar dari Pusat Riset Biosistematika dan Evolusi – Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), yang memberikan pemaparan tentang telaah konflik burung dan manusia di Indonesia.
Diharapkan seminar ini menjadi wadah diskusi lintas disiplin yang mampu melahirkan solusi inovatif guna menciptakan koeksistensi yang harmonis antara manusia dan satwa liar. Dengan semangat kolaborasi dan prinsip keberlanjutan, semua pihak diharapkan dapat berkontribusi aktif dalam menciptakan lingkungan yang lestari bagi generasi mendatang. (Iskandar)
Komentar