Portalika.com [SOLO] – Industri rokok melakukan berbagai cara untuk menggaet konsumen baru. Anak-anak menjadi target pemasaran mereka melalui berbagai media promosi, seperti di televisi, Youtube, Instagram, TikTok hingga media luar ruangan.
Hal itu terkuak dalam diskusi bertema Menagih Realisasi Perda KTR di Kota Solo dan bedah buku A Giant Pack of Lies Part II yang diselenggarakan AJI Jakarta bersama AJI Surakarta dan LPM Kentingan di Ruang Seminar NHIC Universitas Sebelas Maret (UNS) Surkaarta, Kamis, 14 November 2024.
Kegiatan bedah buku ini menjadi bagian dari roadshow di lima kota, selain Solo, kegiatan serupa juga akan digelar di Mataram, Bali, Bandung dan Yogyakarta.
Baca juga: Bupati Trenggalek Berpesan BLT Cukai Rokok Untuk Menambah Kebutuhan Gizi
Dalam diskusi itu menghadirkan sejumlah narasumber, yakni dr Linda Soebroto dari Fakultas Kedokteran UNS, dr Retno Erawati Wulandari selaku Kepala Dinas Kesehatan Kota Surakarta, Nadia Sukmawati selaku Ketua Pemuda Penggerak Solo, Shoim Sahriyati selaku Ketua Yayasan Kakak dan Asnil Bambani yang merupakan perwakilan AJI Jakarta serta penulis buku A Giant Pack of Lies Part II.
Data Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023 yang dikeluarkan Kementerian Kesehatan menunjukkan jumlah perokok aktif di Indonesia diperkirakan mencapai 70 juta orang dengan 7,4% di antaranya perokok berusia 10-18 tahun.
Indonesia menjadi negara dengan jumlah perokok terbanyak ketiga di dunia, setelah India dan China. Prevalensi perokok aktif di Indonesia terus meningkat.
Kelompok anak dan remaja merupakan kelompok dengan peningkatan jumlah perokok yang paling signifikan. Berdasarkan data Global Youth Tobacco Survey (GYTS) pada 2019, prevalensi perokok pada anak sekolah usia 13-15 tahun naik dari 18,3% pada 2016 menjadi 19,2% pada 2019.
Sementara itu, SKI tahun 2023 menunjukkan kelompok usia 15-19 tahun merupakan kelompok perokok terbanyak yakni 56,5% diikuti usia 10-14 tahun sebanyak 18,4%.
Pertumbuhan perokok aktif di Indonesia tersebut tidak terlepas dari industri produk tembakau yang gencar memasarkan produknya di masyarakat, terutama anak dan remaja melalui media sosial.
Asnil Bambani menyampaikan buku A Giant Pack of Lies Part II berisi tentang bagaimana siasat jahat industri rokok dalam memasarkan produk mereka. Selain itu, bagaimana anak-anak menjadi target pasar dari industri rokok melalui beragam promosi di media sosial.
“Selama ini siapa sih yang diuntungkan industri rokok? Kalau klaimnya kan petani yang diuntungkan. Tetapi nyatanya tembakau banyak yang impor dari China, Brasil,” jelas dia.
Asnil menyampaikan di buku ini juga menjelaskan ternyata industri rokok di Indonesia sahamnya sebagian besar sudah dikuasai oleh asing.
“Temuan kita, lebih dari 50% industri rokok, perputaran duit dari hasil industri rokok ini lari ke luar negeri,” ujarnya.
Shoim Sahriyati menambahkan pihaknya menemukan iklan rokok banyak terpasang di dekat sekolah di Kota Solo. Saat ini anak-anak menjadi target penjualan rokok.
“Kota Solo yang saat ini berstatus Kota Layak Anak tingkat utama, seharusnya sudah melarang total keberadaan iklan rokok. Apalagi temuan kami menunjukkan ada 128 titik iklan rokok yang ada di lingkungan sekolah,” jelasnya.
Retno Erawati Wulandari menyampaikan Kota Surakarta saat ini mempunyai Perda tentang Kawasan Tanpa Rokok (KTR). Perda ini sudah ada sejak 2019.
Dia juga melihat saat ini kecenderungan industri rokok sedang menggaet generasi perokok baru. Hal ini dilakukan supaya rokok tetap eksis dan terus dikonsumsi oleh masyarakat.
“Perusahaan rokok mencari sasaran anak muda supaya menjadi perokok. Sehingga produk dari rokok tersebut, perusahaannya akan tetap hidup,” jelasnya.
Sebagai kota yang telah memiliki Perda KTR, seharusnya lingkungan sekolah menjadi ruang yang bebas dari rokok. Sehingga kawasan sekolah harus steril dari iklan rokok.
“Pada 2010, di Balaikota itu ada sales-sales yang menawarkan rokok ke pegawai. Sekarang sudah tidak ada. Dulu hampir setiap hari mereka datang untuk menawarkan rokok,” kata Retno.
Sedangkan dr Linda Soebroto menyampaikan saat ini produk hasil tembakau semakin beragam, bahkan saat ini juga sedang tren rokok elektrik seperti vape. Rokok elektrik sebenarnya juga memiliki kandungan berbahaya seperti rokok konvensional, karena dalam rokok elektrik itu terkandung zat kimia, bahan metal dan lainnya.
“Rokok konvensional itu tidak ada bahan kimia, tapi banyak juga zat-zat yang memicu penyakit,” kata dia.
Linda mengingatkan rokok sangat berdampak buruk terhadap kesehatan. Asap rokok yang dihirup bisa membuat paru-paru menjadi hitam. Selain itu perokok juga akan berpotensi mengalami berbagai penyakit seperti sesak napas, kanker paru, kanker mulut, dan lainnya.
Dia menyebut saat ini juga ada produk rokok tanpa asap. Dia menegaskan apapun bentuk rokok, berasap atau tidak, itu tetap berbahaya karena mengandung nikotin dan zat kimia lain.
Melalui diskusi dan bedah buku ini diharapkan anak muda semakin memahami bagaimana industri rokok melalui berbagai cara menggaet anak muda untuk merokok.
Kemudian diharapkan bersama-sama kita bisa melindungi anak-anak tidak menjadi pengguna rokok ini. Salah satunya lewat keberadaan KTR yang sudah mulai dilakukan di berbagai daerah namun implementasinya terkadang masih kurang tegas. (Ariyanto/*)
Komentar