Sejak ‘perubahan’ menjadi program 01 Anies-Muhaimin pada Pilpres 2024, maknanya menyempit, partisan dan tidak lagi substantif. Kata ‘perubahan’ identik dengan anti pemerintah bahkan ‘momok’ bagi pihak statusquo.
Padahal perubahan itu kata yang umum, yang substansinya adalah hukum alam, bahwa tidak ada yang tidak berubah di alam ini kecuali perubahan itu sendiri. Perubahan akan tetap dan harus terjadi dalam segala hal, apalagi dalam kehidupan berbangsa dan mengelola pembangunan.
Dengan selesainya Pilpres 2024, substansi perubahan seharusnya dikibarkan dan dikobarkan oleh semua elemen, baik oleh yang di dalam, maupun yang di luar pemerintahan. Argumennya jelas, bahwa Indonesia saat ini sangat memerlukan perubahan di bidang politik, ekonomi, hukum, pendidikan, keagamaan dan sosial budaya.
Sudah lebih dari 78 tahun Indonesia merdeka dari kolonial Belanda keparat, terbukti belum juga mentas dari keadaan negara yang lamban dan tertinggal. Kebodohan (IQ turun di level 70), kemiskinan (68% rakyat tak mengonsumsi gizi seimbang), pengangguran dan rendahnya kualitas hidup mayoritas rakyat, masih nyata menyeruak dalam kehidupan keseharian.
Dalam sisi perkapita, Malaysia 3 kali lebih kaya dari Indonesia, Singapura 20 kali lebih kaya, Cina yang dulu 2 kali lebih miskin dari Indonesia, sekarang 3 kali lebih kaya. Di sisi lain, eksploitasi alam untuk mengambil nikel, emas dan mineral lainnya oleh pihak asing, terus meningkat.
Dalam pengembangan Industri baru otomotif berbasis listrik, selular elektronik, perkakas rumah tangga, Indonesia hanya menjadi konsumen dan buruhnya.
Salah Kaprah Perubahan vs Keberlanjutan
Anies Baswedan bersama para relawannya, dalam suatu kesempatan mengatakan, tetaplah di ‘barisan perubahan’. Ini pastilah dimaksudkan, ‘lanjutkan dan tetaplah di perjuangan perubahan’.
Artinya, siapapun yang ingin rakyat di negeri ini cerdas dan sejahtera, jangan berhenti berjuang. Kibarkan terus panji perubahan; bahwa kekayaan di negeri ini harus dikelola untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat; bukan untuk segelintir oligark, bukan untuk keluarga dan dinasti penguasa. Cita-cita Indonesia Adil Makmur untuk Semua, harus terus berkibar dan berkobar-kobar di pergerakan seluruh rakyat.
Dengan kata lain, misi perubahan tidak bisa dihadap-hadapkan dengan ‘keberlanjutan’, sebagai hitam putih, atau sebagai antitesa program-program rezim. Misi perubahan harus diusung oleh siapa saja, baik mereka yang di jabatan publik maupun yang di luar.
Rakyat ingin keadaan berubah, rakyat muak dengan kemiskinan dan ketidakadilan, di mana yang kaya terus semakin kaya dan yang miskin tetap miskin. Negara tidak boleh membiarkan distribusi kekayaan (kapital) di negeri ini berlangsung hanya dalam mekanisme persaingan pasar yang timpang. Negara harus hadir membantu fungsi-fungsi perubahan yang mendasar bagi kemakmuran rakyat.
Panji Perubahan=Hajat Hidup Rakyat
Dengan demikian, pasca Pilpres 2024, Panji perubahan haruslah dikibarkan. Perubahan jangan lagi dilihat sebagai kubu, sebagai program partisan partai pengusung, sebagai musuh rezim. Perubahan harus dilihat sebagai hajat hidup seluruh rakyat.
Perubahan adalah harapan rakyat. Maka, perjuangan untuk perubahan harus dikobarkan oleh semua elit negeri, semua tokoh intelektual, semua calon kandidat Pilkada 2024, pejabat birokrasi maupun semua elemen civil society dan oleh seluruh rakyat.
Anies Baswedan, sebagai icon perubahan, seluruh relawan di Jakarta dan daerah, dan semua calon kandidat Pilkada 2024, bangkit dan kobarkanlah Panji perubahan itu. Usunglah terus tema besar perubahan itu, sebagai proklamasi dan tekad bersama untuk mewujudkan Indonesia yang Adil dan Makmur bagi semua. Merdeka…!!!
Oleh: Legisan Samtafsir
Komentar